Tuesday, April 26, 2011

Etos Pendongkrak Gairah Kerja! (Jangan Cuma "5-Ng")

Hidup hanya menyediakan dua pilihan: mencintai pekerjaan atau mengeluh setiap hari. Jika tidak bisa mencintai pekerjaan, maka kita hanya akan memperoleh "5-ng": ngeluh, ngedumel, ngegosip, ngomel, dan ngeyel.

Punya masalah dengan semangat kerja? Jangan gundah gulana, Anda tidak sendirian. Banyak orang lain yang punya problem serupa. Namun, bukan tidak ada solusinya!


Hampir semua orang pernah mengalami gairah kerjanya melorot. "Itu lumrah," kata Jansen Sinamo, ahli pengembangan sumber daya manusia dari Institut Darma Mahardika, Jakarta. Meski lumrah, "impotensi" kerja harus diobati.

Cara terbaik untuk mengatasinya, menurut Jansen, dengan langsung membenahi pangkal masalahnya, yaitu motivasi kerja. Itulah akar yang membentuk etos kerja. Secara sistematis, Jansen memetakan motivasi kerja dalam konsep yang ia sebut sebagai "Delapan Etos Kerja Profesional". Sejak 1999, ia aktif mengampanyekan gagasan itu lewat berbagai pelatihan yang ia lakukan.

Memahat yang tak terlihat

Etos pertama: kerja adalah rahmat.
Apa pun pekerjaan kita, entah pengusaha, pegawai kantor, sampai buruh kasar sekalipun, adalah rahmat dari Tuhan. Anugerah itu kita terima tanpa syarat, seperti halnya menghirup oksigen dan udara tanpa biaya sepeser pun.

Bakat dan kecerdasan yang memungkinkan kita bekerja adalah anugerah. Dengan bekerja, setiap tanggal muda kita menerima gaji untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan bekerja kita punya banyak teman dan kenalan, punya kesempatan untuk menambah ilmu dan wawasan, dan masih banyak lagi. Semua itu anugerah yang patut disyukuri. Sungguh kelewatan jika kita merespons semua nikmat itu dengan bekerja ogah-ogahan.

Etos kedua: kerja adalah amanah.
Apa pun pekerjaan kita, pramuniaga, pegawai negeri, atau anggota DPR, semua adalah amanah. Pramuniaga mendapatkan amanah dari pemilik toko. Pegawai negeri menerima amanah dari negara. Anggota DPR menerima amanah dari rakyat. Etos ini membuat kita bisa bekerja sepenuh hati dan menjauhi tindakan tercela, misalnya korupsi dalam berbagai bentuknya.

Etos ketiga: kerja adaah panggilan.
Apa pun profesi kita, perawat, guru, penulis, semua adalah darma. Seperti darma Yudistira untuk membela kaum Pandawa. Seorang perawat memanggul darma untuk membantu orang sakit. Seorang guru memikul darma untuk menyebarkan ilmu kepada para muridnya. Seorang penulis menyandang darma untuk menyebarkan informasi tentang kebenaran kepada masyarakat. Jika pekerjaan atau profesi disadari sebagai panggilan, kita bisa berucap pada diri sendiri, "I'm doing my best!" Dengan begitu kita tidak akan merasa puas jika hasil karya kita kurang baik mutunya.

Etos keempat: kerja adalah aktualisasi.
Apa pun pekerjaan kita, eutah dokter, akuntan, ahli hukum, semuanya bentuk aktualisasi diri. Meski kadang membuat kita lelah, bekerja tetap merupakan cara terbaik untuk mengembangkan potensi diri dan membuat kita merasa "ada". Bagaimanapun sibuk bekerja jauh lebih menyenangkan daripada duduk bengong tanpa pekenjaan.

Secara alami, aktualisasi diri itu bagian dari kebutuhan psikososial manusia. Dengan bekerja, misalnya, seseorang bisa berjabat tangan dengan rasa pede ketika berjumpa koleganya. "Perkenalkan, nama saya Miftah, dari Bank Kemilau." Keren `kan?

Etos kelima: kerja itu ibadah.
Tak peduli apa pun agama atau kepercayaan kita, semua pekerjaan yang halal merupakan ibadah. Kesadaran ini pada gilirannya akan membuat kita bisa bekerja secara ikhlas, bukan demi mencari uang atau jabatan semata. Jansen mengutip sebuah kisah zaman Yunani kuno seperti ini:

Seorang pemahat tiang menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mengukir sebuah puncak tiang yang tinggi. Saking tingginya, ukiran itu tak dapat dilihat langsung oleh orang yang berdiri di samping tiang. Orang-orang pun bertanya, buat apa bersusah payah membuat ukiran indah di tempat yang tak terlihat? Ia menjawab, "Manusia memang tak bisa menikmatmnya. Tapi Tuhan bisa melihatnya." Motivasi kerjanya telah berubah menjadi motivasi transendental.

Warisan tak ternilai

Etos keenam: kerja adalah seni.
Apa pun pekerjaan kita, bahkan seorang peneliti pun, semua adalah seni. Kesadaran ini akan membuat kita bekerja dengan enjoy seperti halnya melakukan hobi. Jansen mencontohkan Edward V Appleton, seorang fisikawan peraih nobel. Dia mengaku, rahasia keberhasilannya meraih penghargaan sains paling begengsi itu adalah karena dia bisa menikmati pekerjaannya.

"Antusiasmelah yang membuat saya mampu bekerja berbulan-bulan di laboratorium yang sepi," katanya. Jadi, sekali lagi, semua kerja adalah seni. Bahkan ilmuwan seserius Einstein pun menyebut rumus-rumus fisika yang njelimet itu dengan kata sifat beautiful.

Etos ketujuh: kerja adalah kehormatan.
Seremeh apa pun pekerjaan kita, itu adalah sebuah kehormatan. Jika bisa menjaga kehormatan dengan baik, maka kehormatan lain yang lebih besar akan datang kepada kita.

Jansen mengambil contoh etos kerja Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan Indonesia kawakan ini tetap bekerja (menulis), meskipun ia dikucilkan di Pulau Buru yang serba terbatas. Baginya, menulis merupakan sebuah kehormatan. Hasilnya, kita sudah mafhum. Semua novelnya menjadi karya sastra kelas dunia.

Etos kedelapan: kerja adalah pelayanan.
Apa pun pekerjaan kita, pedagang, polisi, bahkan penjaga mercu suar, semuanya bisa dimaknai sebagai pengabdian kepada sesama.

Pada pertengahan abad ke-20 di Prancis, hidup seorang lelaki tua sebatang kara karena ditinggal mati oleh istri dan anaknya. Bagi kebanyakan orang, kehidupan seperti yang ia alami mungkin hanya berarti menunggu kematian. Namun bagi dia, tidak. Ia pergi ke lembah Cavennen, sebuah daerah yang sepi. Sambil menggembalakan domba, ia memunguti biji oak, lalu menanamnya di sepanjang lembah itu. Tak ada yang membayarnya. Tak ada yang memujinya. Ketika meninggal dalam usia 89 tahun, ia telah meninggalkan sebuah warisan luar biasa, hutan sepanjang 11 km! Sungai-sungai mengalir lagi. Tanah yang semula tandus menjadi subur. Semua itu dinikmati oleh orang yang sama sekali tidak ia kenal.

Di Indonesia semangat kerja serupa bisa kita jumpai pada Mak Eroh yang membelah bukit untuk mengalirkan air ke sawah-sawah di desanya di Tasikmalaya, Jawa Barat. Juga pada diri almarhum Munir, aktivis Kontras yang giat membela kepentingan orang-orang yang teraniaya.

"Manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan dilengkapi keinginan untuk berbuat baik," kata Jansen. Dalam bukunya Ethos21, ia menyebut
dengan istilah rahmatan lii alamin (rahmat bagi sesama).

Pilih cinta atau kecewa

Menurut Jansen, kedelapan etos kerja yang ia gagas itu bersumber pada kecerdasan emosional spiritual. Ia menjamin, semua konsep etos itu bisa diterapkan di semua pekerjaan.
"Asalkan pekerjaan yang halal," katanya. "Umumnya, orang bekerja itu `kan hanya untuk nyari gaji. Padahal pekerjaan itu punya banyak sisi," katanya.

Kerja bukan hanya untuk mencari makan, tetapi juga mencari makna. Rata-rata kita menghabiskan waktu 30 - 40 tahun untuk bekerja. Setelah itu pensiun, lalu manula, dan pulang ke haribaan
Tuhan. "Manusia itu makhluk pencari makna. Kita harus berpikir, untuk apa menghabiskan waktu 40 tahun bekerja. Itu `kan waktu yang sangat lama," tambahnya.

Ada dua aturan sederhana supaya kita bisa antusias pada pekerjaan. Pertama, mencari pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakat. Dengan begitu, bekerja akan terasa sebagai kegiatan yang menyenangkan.Jika aturan pertama tidak bisa kita dapatkan, gunakan aturan kedua: kita harus belajar mencintai pekerjaan. Kadang kita belum bisa mencintai pekerjaan karena belum mendalaminya dengan benar. "Kita harus belajar mencintai yang kita punyai dengan segala kekurangannya," kata sarjana Fisika ITB yang lebih suka dengan dunia pelatihan sumber daya manusia ini.

Hidup hanya menyediakan dua pilihan: mencintai pekerjaan atau mengeluh setiap hari. Jika tidak bisa mencintai pekerjaan, maka kita hanya akan memperoleh "5-ng": ngeluh, ngedumel, ngegosip, ngomel, dan ngeyel. Jansen mengutip filsuf Jerman, Johann Wolfgang von Goethe, "It's not doing the thing we like, but liking the thing we have to do that makes life happy."

"Dalam hidup, kadang kita memang harus melakukan banyak hal yang tidak kita sukai. Tapi kita tidak punya pilihan lain. Tidak mungkin kita mau enaknya saja. Kalau suka makan ikan, kita harus mau ketemu duri," ujar pria yang kerap disebut sebagai Guru Etos ini.

Dalam dunia kerja, duri bisa tampil dalam berbagai macam bentuk. Gaji yang kecil, teman kerja yang tidak menyenangkan, atasan yang kurang empatik, dan masih banyak lagi. Namun, justru dari sini kita akan ditempa untuk menjadi lebih berdaya tahan.

Bukan gila kerja

Dalam urusan etos kerja, bangsa Indonesia sejak dulu dikenal memiliki etos kerja yang kurang baik. Di jaman kolonial, orang-orang Belanda sampai menyebut kita dengan sebutan yang mengejek, in lander pemalas. Ini berbeda dengan, misalnya, etos Samurai yang dimiliki bangsa Jepang. Mereka terkenal sebagai bangsa pekerja keras dan ulet. Namun, Jansen menegaskan, pekerja keras sama sekali berbeda dengan workaholic. Pekerja keras bisa membatasi diri, dan tahu kapan saatnya menyediakan waktu untuk urusan di luar kerja. Sementara seorang workaholic tidak. Dalam pandangan Jansen, kondisi kerja yang menyenangkan adalah kerja bareng semua pihak. Bukan hanya bawahan, tapi juga atasan.

Sering seorang atasan mengharapkan bawahannya bekerja keras, sementara ia sendiri secara tidak sengaja melakukan sesuatu yang melunturkan semangat kerja bawahan. Jansen memberi contoh, atasan yang mengritik melulu jika bawahan berbuat keliru, tapi tak pernah memujinya jika ia menunjukkan prestasi.Secara manusiawi hal itu akan menyebabkan bawahan kehilangan semangat bekerja. Buat apa bekerja keras, toh hasil kerjanya tak akan dihargai. Ingat, pada dasarnya manusia menyukai reward.

Konosuke Matsushita, pendiri perusahaan Matsushita Electric Industrial (MET) punya teladan yang bagus. Pada zaman resesi dunia tahun 1929-an, pertumbuhan ekonomi Jepang anjiok tajam. Banyak perusahaan mem-PHK karyawan. MEI pun terpaksa memangkas produksi hingga separuhnya. Namun, Matsushita menjamin tak ada satu karyawan pun yang bakal terkena PHK.
Sebagai gantinya, ia mengajak semua karyawan bekerja keras. Karyawan-karyawan bagian produksi dilatih untuk menjual. Hasilnya benar-benar ruarrr biasa. Mereka bisa berubah menjadi tenaga marketing andal, yang membuat Matsushita menjadi salah satu perusahaan terkuat di Jepang.
Sumber: milis Bursaide dari milis tetangga

Read More......

Tuesday, April 19, 2011

Sebuah Renungan

Anda tdk perlu menjawab semua pertanyaan, tolong sebutkan :

1. Nama 5 org terkaya didunia saat ini
2. Nama 5 pemenang tropy FFI 2010
3. Nama 5 miss america terakhir
4. Nama 5 org pemenang nobel (apa saja)
5. Name 5 org pemenang Academy Award 2010

Intinya adalah, tidak ada seorangpun dr kita yg masih mengingatnya!
Tepuk tangan telah sirna, penghargaan beralih. Pencapaian telah dilupakan. Tetapi kita tetap angkat topi utk mereka.


Ada satu kuis lain, lihatlah bagaimana kita mengerjakan yg ini :

1. Nama 5 guru yg telah membantu dlm perjalanan sukses kita disekolah
2. Nama 5 teman yg membantu kita dlm waktu sulit
3. Nama 5 org yg mengajarkan kita sesuatu yg berharga
4. Nama 5 org yg membuat kita merasa dihargai dan spesial.
5. Nama 5 org yg kita sangat menikmati waktu bersamanya.

Apakah lebih mudah menemukannya?
Jika ya, artinya org2 yg membuat perbedaan didalam hidup kita BUKANLAH orang2 yg memenangkan penghargaan-penghargaan setinggi langit dgn prestasi luar biasa, TETAPI mereka adalah org2 yg peduli dan mengasihi kamu dgn TULUS !!

Jadi, kita perlu menghargai setiap saat yg kita miliki bersama org2 tersebut, krn waktu selalu berjalan&kita tdk pernah tau apa yg akan terjadi ketika org2 tersebut dipindahkan Tuhan dr sisi kita.

May God bless us always.

Read More......

Ramalan Berdasarkan Golongan Darah

Berikut ini ramalan berdasarkan Golongan darah, Anda percaya atau tidak, terserah kepada Anda..Selamat membaca..

Gologan darah A

1. Biasanya orang yang bergolongan darah A ini berkepala dingin,
serius, sabar dan kalem atau cool, bahasa kerennya.

2. Orang yang bergolongan darah A ini mempunyai karakter yang tegas,
bisa di andalkan dan dipercaya namun keras kepala.

3. Sebelum melakukan sesuatu mereka memikirkannya terlebih dahulu.
Dan merencanakan segala sesuatunya secara matang. Mereka mengerjakan
segalanya dengan sungguh-sungguh dan secara konsisten.

4. Mereka berusaha membuat diri mereka se wajar dan ideal mungkin.

5. Mereke bisa kelihatan menyendiri dan jauh dari orang-orang.

6. mereka mencoba menekan perasaan mereka dan karena sering
melakukannya mereka terlihat tegar. Meskipun sebenarnya mereka mempunya sisi
yang lembek seperti gugup dan lain sebagainya.

7. Mereka cenderung keras terhadap orang-orang yang tidak sependapat.
Makanya mereka cenderung berada di sekitar orang-orang yang ber'temperamen'
sama.


Gologan darah B

1. Orang yang bergolongan darah B ini cenderung penasaran dan
tertarik terhadap segalanya.

2. Mereka juga cenderung mempunyai terlalu banyak kegemaran dan
hobby. Kalau sedang suka dengan sesuatu biasanya mereka menggebu-gebu namun
cepat juga bosan.

3. Tapi biasanya mereka bisa memilih mana yang lebih penting dari
sekian banyak hal yang di kerjakannya.

4. Mereka cenderung ingin menjadi nomor satu dalam berbagai hal
ketimbang hanya dianggap rata-rata. Dan biasanya mereka cenderung melalaikan
sesuatu jika terfokus dengan kesibukan yang lain. Dengan kata lain, mereka
tidak bisa mengerjakan sesuatu secara berbarengan.

5. Mereka dari luar terlihat cemerlang, riang, bersemangat dan
antusias. Namun sebenarnya hal itu semua sama sekali berbeda dengan yang ada
didalam diri mereka.

6. Mereka bisa dikatakan sebagai orang yang tidak ingin bergaul
dengan banyak orang.

Gologan darah O

1. Orang yang bergolongan darah O, mereka ini biasanya berperan dalam
menciptakan gairah untuk suatu grup. Dan berperan dalam menciptakan suatu
keharmonisan diantara para anggota grup tersebut.

2. Figur mereka terlihat sebagai orang yang menerima dan melaksakan
sesuatu dengan tenang. Mereka pandai menutupi sesuatu sehingga mereka
kelihatan selalu riang, damai dan tidak punya masalah sama sekali. Tapi
kalau tidak tahan, mereka pasti akan mencari tempat atau orang untuk curhat
(tempat mengadu).

3. Mereka biasanya pemurah (baik hati), senang berbuat kebajikan.
Mereka dermawan dan tidak segan-segan mengeluarkan uang untuk orang lain.

4. Mereka biasanya di cintai oleh semua orang, "loved by all". Tapi
mereka sebenarnya keras kepala juga, dan secara rahasia mempunyai
pendapatnya sendiri tentang berbagai hal.

5. Dilain pihak, mereka sangat fleksibel dan sangat mudah menerima
hal-hal yang baru.

6. Mereka cenderung mudah di pengaruhi oleh orang lain dan oleh apa
yang mereka lihat dari TV.

7. Mereka terlihat berkepala dingin dan terpercaya tapi mereka sering
tergelincir dan membuat kesalahan yang besar karena kurang berhati-hati.
Tapi hal itu yang menyebabkan orang yang bergolongan darah O ini di cintai.

Gologan darah AB

1. Orang yang bergolongan darah AB ini mempunyai perasaan yang
sensitif, lembut.

2. Mereka penuh perhatian dengan perasaan orang lain dan selalu
menghadapi orang lain dengan kepedulian serta kehati-hatian.

3. Disamping itu mereka keras dengan diri mereka sendiri juga dengan
orang-orang yang dekat dengannya.

4. Mereka jadi cenderung kelihatan mempunyai dua kepribadian.

5. Mereka sering menjadi orang yang sentimen dan memikirkan sesuatu
terlalu dalam.

6. Mereka mempunyai banyak teman, tapi mereka membutuhkan waktu untuk
menyendiri untuk memikirkan persoalan-persoalan mereka.

Read More......

Wednesday, April 6, 2011

Rumah Betawi


“MASYARAKAT Betawi tergolong masyarakat rawa. Itu sebabnya mereka mengenal model rumah panggung,” kata Ridwan Saidi, tokoh Betawi yang sedang menyiapkan peluncuran buku riset sejarah garapannya: Babad Tanah Betawi.Namun, Ketua Tim Pengelola Perkampungan Budaya Betawi (PPBB) Agus Asenie Dipl Ing, praktisi arsitektur berpendapat, masyarakat Betawi sebenarnya tinggal di habitat yang beragam, sejak pesisir hingga pedalaman. Bahkan, sekarang juga tinggal di wilayah urban padat penduduk di tengah Kota Jakarta.


“Sehingga rumah panggung bukan satu-satunya sistem rumah tradisionilnya. Arsitektur rumah Betawi juga mengenal rumah darat. Jadi memang ada variasi pola arsitektur rumah sesuai dengan rentang sebaran komunitas Betawi dari pesisir yang mencari nafkah sebagai nelayan hingga pedalaman yang bercocok tanam padi sawah,” kata Agus, putra Betawi juga, asal Slipi.
Dua tahun terakhir Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI melalui Tim Pengelola Perkampungan Budaya Betawi yang dipimpin Agus Asenie melaksanakan proyek pemugaran sebuah rumah tradisional dan pembuatan rumah baru berarsitektur tradisional Betawi di kampung Setu Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Ini satu bagian kecil saja dari rencana proyek berjangka multi tahun di atas lahan 165 Ha, yang tidak saja bertujuan mengkonservasi arsitektur tradisional Betawi di kawasan itu, tapi juga berusaha membuat daerah tujuan wisata baru di selatan Jakarta. Lokasinya ideal karena adanya Danau Setu Babakan, berudara sejuk (24-26 derajad Celsius), berkontur (naik turun), dan sudah dihuni oleh komunitas Betawi yang masih lumayan mengukuhi adatnya.
Setiap Sabtu dan Minggu, di panggung berarsitektur Betawi yang dibikin oleh Tim PPBB sudah rutin berlangsung atraksi wisata seperti tari ondel-ondel juga upacara adat seperti perkawinan dan khitanan, yang sudah mulai dikunjungi turis manca negara. Tahun lalu jumlah pengunjung sudah mencapai 10.000 orang, dengan salah satu daya tarik utama sebuah situs rumah tradisional Betawi yang dipugar PPBB milik warga setempat bernama Pak Samin Jebul (60).
MENURUT hitungan kasar Ridwan Saidi, saat ini ada tak kurang dari 3.000 rumah berarsitektur tradisional Betawi di kawasan hunian komunitas Betawi, sejak kawasan Pulau Seribu di utara, hingga Cileungsi di selatan, sejak Balaraja (Tangerang) di barat sampai Cikarang (Bekasi) di timur.
Sebegitu jauh, baik Ridwan Saidi maupun Agus Asenie mengutarakan, belum ada sumber sekunder yang berasal dari kalangan akademik tentang arsitektur rumah Betawi. Tidak ada primbon atau pustaka klasik yang berisi kodifikasi arsitektur Betawi, sehingga Ridwan mengaku harus meraba sendiri ciri khas arsitektur rumah Betawi ini ketika meneliti, seraya dibandingkan dengan arsitektur rumah tradisional suku lain. Misalnya, bahwa masyarakat Betawi tidak mengenal fengshui, hukum arah angin sebagaimana masyarakat Tionghoa.
“Betawi pada awalnya adalah masyarakat river basin. Mereka membangun masyarakat berkelompok sepanjang sungai-sungai di kawasan ini. Ada belasan sungai besar di kawasan ini. Pintu depan rumah menghadap ke arah sungai. Akibatnya, setelah perlahan-lahan rumah Betawi masuk ke pedalaman, arah hadap rumah Betawi tidak teratur seperti rumah di Jawa yang berjajar menghadap jalan. Tetapi, sisa-sisa budaya DAS-nya masih tertinggal, biasanya dalam bentuk adanya sumur gali di depan rumah. Anda ingat Mandra atau Basuki di serial Si Doel kalau mandi di sumur di depan rumah mereka,” katanya.
Sekarang ini, terkena budaya kontemporer yang membataskan jumlah lahan yang kian menuntut pola arsitektur compact (ringkas), kata Agus, sumur depan rumah sudah kian hilang. Digantikan pompa-pompa listrik yang dipasang di belakang rumah.
Pada dasarnya ada tiga zoning di rumah tradisional Betawi, kata Ridwan Saidi. Kurang lebih mengikuti hukum arsitektur modern juga, kawasan publik (ruang tamu), kawasan privat (ruang tengah dan kamar) dan kawasan servis (dapur), tambah Agus. Dalam bahasa Betawi, kawasan publik yang berupa ruang tanpa dinding ini kawasan amben, disusul ruang tengah yang didalamnya ada kamar yakni wilayah pangkeng. Paling belakang adalah dapur atau srondoyan.
Masing-masing kawasan ini bisa merupakan bangunan sendiri, dengan pola atap sendiri. Bisa pula satu rumah utuh dengan sebuah saja pola atap, yang terbagi dalam tiga zona tadi. Variasi ini ditentukan status sosial ekonomi penghuninya. Jika setiap zona punya satu pola atap, masing-masing bisa berupa salah satu dari model atap pelana (segitiga sama sisi), atau limas dengan dua kali “terjunan” air hujan yang sudutnya berbeda. Atau lagi kombinasi dari kedua sistem atap ini.
Pilihan pola atap menurut Ridwan Saidi, tampaknya tidak terlalu menjadi tuntutan dalam arsitektur tradisional Betawi. Tidak seperti di Jawa yang sampai perlu ada selamatan khusus untuk itu. Bagi komunitas Betawi yang penting justru pembangunan pondasi rumah. Itu sebabnya, mereka mengenal selamatan “sedekah rata bumi". Hanya saja, sambung Ridwan, selamatan ini dilakukan sesaat setelah kuda-kuda atap rumah sudah sempurna berdiri.
RIDWAN mencatat ada sebuah sudut penting, bahkan sakral dalam arsitektur Betawi. Yakni, konstruksi tangga, yang diistilahkan balaksuji. Sayangnya ini agak sulit ditemukan di rumah Betawi bukan panggung. Balaksuji adalah konstruksi tangga di rumah panggung Betawi. Rumah darat kadang-kadang juga punya, jika lantaran “kultur rumah panggung", membuat pemilik rumah sengaja meninggikan lantai rumahnya dari permukaan tanah sekitar. Pada kasus demikian pemilik rumah juga membuat balaksuji, tangga menuju rumah.
Tak ada konfirmasi literer soal ini. Hanya saja Ridwan menjelaskan, inilah (boleh jadi) arti harafiah dari istilah “rumah tangga” yang dikenal selama ini.
“Sebuah keluarga yang utuh tinggal di rumah yang ada tangganya. Makanya, bernama rumah tangga. Tangga balaksuji ini bagian rumah yang sarat nilai filosofi. Bisa disamakan dengan tangga spiritual dalam tradisi Betawi. Mungkin bisa diidentikkan dengan prinsip tangga dalam arsitektur kebudayaan lain, seperti Borobudur, atau suku kuno Inca. Bahwa memasuki rumah lewat tangga adalah proses menuju kesucian. Idealnya jika ada sumur di depan rumah, siapa pun yang hendak masuk rumah harus membasuh kakinya dulu, baru naik tangga, sehingga masuk rumah dalam keadaan bersih. Ini memang bukan soal fungsi, tapi perlambang,” katanya.
Di rumah modern yang dihuni masyarakat Betawi sekarang, banyak hal sudah hilang, termasuk tangga balaksuji ini. Hanya saja, kata Ridwan, di sejumlah kampung balaksuji dipertahankan, atau pindah lokasi. Tangga ini tidak ada di rumah penduduk, tapi ada di masjid kampung. Balaksuji dipasang di tempat khotib berkhotbah. Tangga ini menjadi tangga menuju mimbar. Kesuciannya dipertahankan di rumah ibadah. (ody)
Sumber: Harian Kompas, Minggu, 21 April 2002

Read More......

Monday, April 4, 2011

Terminal Busway Kota

Jakarta (4/3/2011). Karena ada keperluan membeli perlengkapan untuk netbook (computer supplies), maka berangkatlah saya siang tadi dari Thamrin menuju Harco Mangga Dua. Seperti biasa naik Busway ke Terminal akhir di Kota. Sesampainya di sana langsung turun menuju terowongan dan mengitari putaran untuk kemudian naik ke arah Stasiun Kota. Hmmm, di sini nih mulai merasa tidak nyaman...Bau Pesing..


Dari mulai anak tangga pertama sampai di atas bau tidak sedap ini sangat terasa. Dan hampir semua orang yang lewat baik menuju Halte Busway atau ke Stasiun Kota langsung menahan nafas. Sayang sekali fasilitas umum yang semestinya dapat kita nikmati bersama dikotori oleh ulah sebagian orang yang tidak peduli lingkungan. Mohon kiranya kepada pihak berwenang untuk menertibkan ini dan menjaga kebersihan terminal busway Kota.

Read More......