“MASYARAKAT Betawi tergolong masyarakat rawa. Itu sebabnya mereka mengenal model rumah panggung,” kata Ridwan Saidi, tokoh Betawi yang sedang menyiapkan peluncuran buku riset sejarah garapannya: Babad Tanah Betawi.Namun, Ketua Tim Pengelola Perkampungan Budaya Betawi (PPBB) Agus Asenie Dipl Ing, praktisi arsitektur berpendapat, masyarakat Betawi sebenarnya tinggal di habitat yang beragam, sejak pesisir hingga pedalaman. Bahkan, sekarang juga tinggal di wilayah urban padat penduduk di tengah Kota Jakarta.
“Sehingga rumah panggung bukan satu-satunya sistem rumah tradisionilnya. Arsitektur rumah Betawi juga mengenal rumah darat. Jadi memang ada variasi pola arsitektur rumah sesuai dengan rentang sebaran komunitas Betawi dari pesisir yang mencari nafkah sebagai nelayan hingga pedalaman yang bercocok tanam padi sawah,” kata Agus, putra Betawi juga, asal Slipi.
Dua tahun terakhir Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI melalui Tim Pengelola Perkampungan Budaya Betawi yang dipimpin Agus Asenie melaksanakan proyek pemugaran sebuah rumah tradisional dan pembuatan rumah baru berarsitektur tradisional Betawi di kampung Setu Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Ini satu bagian kecil saja dari rencana proyek berjangka multi tahun di atas lahan 165 Ha, yang tidak saja bertujuan mengkonservasi arsitektur tradisional Betawi di kawasan itu, tapi juga berusaha membuat daerah tujuan wisata baru di selatan Jakarta. Lokasinya ideal karena adanya Danau Setu Babakan, berudara sejuk (24-26 derajad Celsius), berkontur (naik turun), dan sudah dihuni oleh komunitas Betawi yang masih lumayan mengukuhi adatnya.
Setiap Sabtu dan Minggu, di panggung berarsitektur Betawi yang dibikin oleh Tim PPBB sudah rutin berlangsung atraksi wisata seperti tari ondel-ondel juga upacara adat seperti perkawinan dan khitanan, yang sudah mulai dikunjungi turis manca negara. Tahun lalu jumlah pengunjung sudah mencapai 10.000 orang, dengan salah satu daya tarik utama sebuah situs rumah tradisional Betawi yang dipugar PPBB milik warga setempat bernama Pak Samin Jebul (60).
MENURUT hitungan kasar Ridwan Saidi, saat ini ada tak kurang dari 3.000 rumah berarsitektur tradisional Betawi di kawasan hunian komunitas Betawi, sejak kawasan Pulau Seribu di utara, hingga Cileungsi di selatan, sejak Balaraja (Tangerang) di barat sampai Cikarang (Bekasi) di timur.
Sebegitu jauh, baik Ridwan Saidi maupun Agus Asenie mengutarakan, belum ada sumber sekunder yang berasal dari kalangan akademik tentang arsitektur rumah Betawi. Tidak ada primbon atau pustaka klasik yang berisi kodifikasi arsitektur Betawi, sehingga Ridwan mengaku harus meraba sendiri ciri khas arsitektur rumah Betawi ini ketika meneliti, seraya dibandingkan dengan arsitektur rumah tradisional suku lain. Misalnya, bahwa masyarakat Betawi tidak mengenal fengshui, hukum arah angin sebagaimana masyarakat Tionghoa.
“Betawi pada awalnya adalah masyarakat river basin. Mereka membangun masyarakat berkelompok sepanjang sungai-sungai di kawasan ini. Ada belasan sungai besar di kawasan ini. Pintu depan rumah menghadap ke arah sungai. Akibatnya, setelah perlahan-lahan rumah Betawi masuk ke pedalaman, arah hadap rumah Betawi tidak teratur seperti rumah di Jawa yang berjajar menghadap jalan. Tetapi, sisa-sisa budaya DAS-nya masih tertinggal, biasanya dalam bentuk adanya sumur gali di depan rumah. Anda ingat Mandra atau Basuki di serial Si Doel kalau mandi di sumur di depan rumah mereka,” katanya.
Sekarang ini, terkena budaya kontemporer yang membataskan jumlah lahan yang kian menuntut pola arsitektur compact (ringkas), kata Agus, sumur depan rumah sudah kian hilang. Digantikan pompa-pompa listrik yang dipasang di belakang rumah.
Pada dasarnya ada tiga zoning di rumah tradisional Betawi, kata Ridwan Saidi. Kurang lebih mengikuti hukum arsitektur modern juga, kawasan publik (ruang tamu), kawasan privat (ruang tengah dan kamar) dan kawasan servis (dapur), tambah Agus. Dalam bahasa Betawi, kawasan publik yang berupa ruang tanpa dinding ini kawasan amben, disusul ruang tengah yang didalamnya ada kamar yakni wilayah pangkeng. Paling belakang adalah dapur atau srondoyan.
Masing-masing kawasan ini bisa merupakan bangunan sendiri, dengan pola atap sendiri. Bisa pula satu rumah utuh dengan sebuah saja pola atap, yang terbagi dalam tiga zona tadi. Variasi ini ditentukan status sosial ekonomi penghuninya. Jika setiap zona punya satu pola atap, masing-masing bisa berupa salah satu dari model atap pelana (segitiga sama sisi), atau limas dengan dua kali “terjunan” air hujan yang sudutnya berbeda. Atau lagi kombinasi dari kedua sistem atap ini.
Pilihan pola atap menurut Ridwan Saidi, tampaknya tidak terlalu menjadi tuntutan dalam arsitektur tradisional Betawi. Tidak seperti di Jawa yang sampai perlu ada selamatan khusus untuk itu. Bagi komunitas Betawi yang penting justru pembangunan pondasi rumah. Itu sebabnya, mereka mengenal selamatan “sedekah rata bumi". Hanya saja, sambung Ridwan, selamatan ini dilakukan sesaat setelah kuda-kuda atap rumah sudah sempurna berdiri.
RIDWAN mencatat ada sebuah sudut penting, bahkan sakral dalam arsitektur Betawi. Yakni, konstruksi tangga, yang diistilahkan balaksuji. Sayangnya ini agak sulit ditemukan di rumah Betawi bukan panggung. Balaksuji adalah konstruksi tangga di rumah panggung Betawi. Rumah darat kadang-kadang juga punya, jika lantaran “kultur rumah panggung", membuat pemilik rumah sengaja meninggikan lantai rumahnya dari permukaan tanah sekitar. Pada kasus demikian pemilik rumah juga membuat balaksuji, tangga menuju rumah.
Tak ada konfirmasi literer soal ini. Hanya saja Ridwan menjelaskan, inilah (boleh jadi) arti harafiah dari istilah “rumah tangga” yang dikenal selama ini.
“Sebuah keluarga yang utuh tinggal di rumah yang ada tangganya. Makanya, bernama rumah tangga. Tangga balaksuji ini bagian rumah yang sarat nilai filosofi. Bisa disamakan dengan tangga spiritual dalam tradisi Betawi. Mungkin bisa diidentikkan dengan prinsip tangga dalam arsitektur kebudayaan lain, seperti Borobudur, atau suku kuno Inca. Bahwa memasuki rumah lewat tangga adalah proses menuju kesucian. Idealnya jika ada sumur di depan rumah, siapa pun yang hendak masuk rumah harus membasuh kakinya dulu, baru naik tangga, sehingga masuk rumah dalam keadaan bersih. Ini memang bukan soal fungsi, tapi perlambang,” katanya.
Di rumah modern yang dihuni masyarakat Betawi sekarang, banyak hal sudah hilang, termasuk tangga balaksuji ini. Hanya saja, kata Ridwan, di sejumlah kampung balaksuji dipertahankan, atau pindah lokasi. Tangga ini tidak ada di rumah penduduk, tapi ada di masjid kampung. Balaksuji dipasang di tempat khotib berkhotbah. Tangga ini menjadi tangga menuju mimbar. Kesuciannya dipertahankan di rumah ibadah. (ody)
Sumber: Harian Kompas, Minggu, 21 April 2002
No comments:
Post a Comment