Showing posts with label Budaya. Show all posts
Showing posts with label Budaya. Show all posts

Monday, September 23, 2013

Tradisi Pertemuan Haji

Memasuki bulan Dzulqo'dah biasanya sudah mulai ada jamaah haji yang berangkat ke Tanah Suci (Mekah dan Madinah) untuk menunaikan ibadah haji. Beberapa hari sebelum keberangkatan diadakan acara Pertemuan Haji dengan mengundang saudara, kerabat, tetangga dan teman-teman. Inti dari acara tersebut adalah calon jamaah haji memohon maaf atas segala kesalahan dan doa agar diberikan kelancaran dalam melaksanakan ibadah haji.

Dalam pelaksanaannya, acara Pertemuan Haji memiliki varian (sepengetahuan saya selama mengikuti acara ini di Kebon Jeruk, Jakarta Barat dan Sudimara Pinang, Tangerang)yaitu:
a. Sederhana: Diawali dengan sambutan dari shohibul hajat (calon jamaah haji) yang isinya permintaan maaf dan doa sebagaimana dijelaskan di atas, dilanjutkan dengan pembacaan ayat suci Al-Qur'an, Yasin serta tahlil, ditutup dengan doa ditujukan khusus kepada para keluarga calon jamaah haji yang telah meninggal dan calon jamaah haji yang akan berangkat ke Baitullah.

b. Umum: Sama seperti poin a di atas, hanya saja setelah pembacaan tahlil, sebelum doa dibacakan Kitab Maulid Nabi (biasanya Barzanzi). Ketika sampai pada pasal Marhaban, semua jamaah berdiri, calon jamaah haji akan berkeliling menemui para hadirin sambil memohon maaf atas salah dan khilaf. Momen inilah yang paling seru, ada rasa haru, senang, bahagia, campur jadi satu. Diiringi lantunan sholawat kepada Nabi Muhammad SAW. Setelah semua hadirin ditemui oleh calon jamaah haji, ditutup dengan doa.

c. Lengkap: sama seperti poin b, ditambah dengan ceramah agama oleh Ustadz/kyai/habib/ulama yang diundang untuk mengisi acara tersebut.

Setelah rangkaian acara Pertemuan Haji selesai, calon jamaah haji bersiap menanti hari H dengan memperbanyak ibadah dan menyiapkan fisik agar bisa prima dalam menunaikan ibadah haji. Akhirnya, selamat menunaikan ibadah haji bagi seluruh calon jamaah haji Indonesia dan Dunia. Semoga menjadi haji yang mabrur.

Read More......

Friday, June 7, 2013

Seri Pernikahan Betawi: Meminang ala Betawi (Bawa Duit)

Serpong - "Ntu dimeja ada kue dari Cing Jenab, semalem anaknya dibawain duit ama anak kampung sebelah, kali aja ntar elu ketularan". Itulah sepenggal kalimat mengenai tradisi Betawi ketika ada anggota keluarga yang dilamar. Jika seseorang pemuda Betawi sudah merasa dirinya siap untuk menikah dan sudah menemukan calon pasangan hidupnya, tentunya dia harus menyampaikannya ke orang tuanya untuk dinikahkan dengan wanita pilihannya tersebut. Sebelum menikah perlu adanya proses meminang, melamar atau khitbah yang dalam istilah Betawi "Bawa Duit".

Proses melamar anak gadis yang akan menjadi calon istri pemuda Betawi diawali dengan memberi kabar kepada pihak keluarga si gadis. Biasanya cukup dengan mengatakan "besok malam keluarga saya mau ke rumah bapak, mau bawa duit buat si A". Keluarga si gadis sudah paham bahwa anaknya segera akan dilamar. Siang hari menjelang kedatangan keluarga calon besan, pihak keluarga si gadis akan mempersiapkan segala sesuatunya. Biasanya didahului dengan mengirim makanan lengkap dengan lauk pauknya, kue-kue dan lainnya ke keluarga calon besan laki-laki. Ini dikenal dengan istilah "LOLOSAN". Ini artinya bahwa keluarga calon besan wanita siap menerima kedatangan calon besan laki-laki dengan tangan terbuka. Ini juga menjadi pertanda bahwa sebenarnya lamarannya bakal diterima.

Sesampainya di rumah keluarga calon besan laki-laki, LOLOSAN tadi tidak langsung dimakan atau dibagikan ke kerabat, tetapi pihak keluarga laki-laki akan bermusyawawah dengan anggota keluarganya untuk menaksir berapa kira-kira harga atau biaya yang dikeluarkan untuk membuat makanan Lolosan tersebut. Di sini diperlukan seorang Juru Taksir. Setelah diketahui harga dari makanan tersebut, katakanlah Rp. X-, maka pihak keluarga calon besan laki-laki akan menyiapkan uang tersebut dan akan dikembalikan nanti setelah acara lamaran (bawa duit) selesai. Proses ini disebut "Balikin Kulit Pisang". Kemudian makanan Lolosan tadi dibagikan ke semua keluarga, kerabat dan handai taulan dari pihak calon besan laki-laki.

Tibalah pada waktu melamar gadis. Malam hari setelah semua persiapan dirasa cukup, berangkatlah keluarga pemuda tadi ke rumah orang tua si gadis. Uniknya, orang tua si pemuda dan pemuda calon menantu tersebut tidak harus turut serta, tetapi mewakilkan ke orang lain, bisa anggota keluarga atau seorang ustadz/kyai untuk menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan. Yang dibawa dalam rombongan tersebut biasanya terdiri dari: makanan (kue-kue), buah-buahan (terutama yang wajib adalah pisang raja), keperluan menyirih (sirih, gambir, kapur, dan tembakau), tidak ketinggalan mas kawin dan sejumlah uang. Inilah yang mendasari muncul istilah Bawa Duit.

Yang membedakan dengan tradisi lainnya adalah, mas kawin dibawa sejak proses lamaran dan diserahkan ke gadis calon istri. Jadi bukan saat mau ijab kabul. Sedangkan sejumlah uang diberikan sebagai bekal untuk kehidupan berumah tangga kelak. Jadi bukan untuk acara pesta/hajatan sebagaimana pada tradisi di daerah lain. Jika nantinya keluarga calon besan laki-laki atau pemuda tersebut ingin membantu biaya resepsi, diberikan di lain kesempatan. Bukan pada saat acara lamaran tersebut. Setelah acara selesai dan diterima oleh keluarga si gadis, maka gadis calon istri boleh menggunakan emas perhiasan yang diberikan oleh pemuda calon suaminya sebagai tanda bahwa ia telah dikhitbah (dipinang) oleh pemuda tersebut. Dan uang yang diberikan biasanya dibelikan tempat tidur (spring bed), lemari atau lainnya sesuai dengan jumlah uang yang diterima.

Esok harinya, utusan keluarga pemuda tadi akan datang kembali ke rumah si gadis untuk mengembalikan nampan ataupun wadah makanan Lolosan yang di dalamnya sudah diisi dengan sejumlah uang hasil taksiran sebelumnya. Dikenal dengan istilah "Ngembaliin kulit pisang". Ini sebagai bentuk penghormatan dan jalinan silaturahim di antara 2 (dua) keluarga besar. Jika diberi sesuatu, maka berilah yang lebih baik atau sama dengan yang diberikan. Barulah setelah itu, orang tua si gadis akan melakukan kunjungan resmi ke rumah orang tua si pemuda untuk membicarakan tanggal pernikahan.

Read More......

Tuesday, June 4, 2013

Seri Pernikahan Betawi: Nasi Jotan

Serpong - Masih seputar budaya Betawi, pada masyarakat Betawi ada istilah Nasi Jotan. Istilah ini muncul ketika ada warga Betawi yang akan mengadakan suatu hajatan baik pesta pernikahan ataupun khitanan.

Jika selama ini kita mendapat undangan dari seseorang berupa kartu undangan, surat elektronik (imel), SMS ataupun sejenisnya untuk menghadiri suatu pesta, hajatan atau acara tertentu yang diadakan oleh seseorang itu sudah biasa. Di Betawi, undangan bisa berbentuk hidangan lengkap yang diberikan kepada keluarga besan atau orang yang dihormati, biasa disebut NASI JOTAN. Proses mengundang seperti ini dikenal dengan istilah NGEJOT.

Teknisnya, ketika seseorang warga Betawi akan mengadakan suatu hajatan, pihak keluarga sudah mendata siapa saja yang akan dikirimi Nasi Jotan tadi. Umumnya adalah keluarga besan. Besan dimaksud di sini bukan hanya besan utama yang berhubungan langsung dengan acara tersebut, misal besan mempelai wanita/pria jika acara pesta pernikahan, tetapi besan-besan yang memiliki hubungan dengan pihak keluarga shohibul hajat. Bisa besan dari adik, kakak, atau lainnya. Sehingga ada istilah di Betawi jika menikahkan anaknya dengan orang di luar Betawi sama saja tidak punya besan karena di Betawi mengenal sistem besan berantai, dimana yang dimaksud dengan pihak besan bukan hanya orang tua si menantu tetapi keluarga besarnya.

Kembali ke Nasi Jotan tadi, isi dari nasi jotan terdiri dari: Nasi putih, lauk pauk bisa berupa bandeng goreng, ayam atau daging, dengan pelengkap berupa acar, bihun, serundeng, dan lain-lain. Yang dimaksud Serundeng di sini adalah makanan khas Betawi dengan bahan dasar kacang kedelai atau kacang tanah dicampur dengan kelapa dan gula merah yang dimasak dan dibentuk seperti jajaran genjang, kotak atau diletakkan di nampan bulat. Banyaknya nasi jotan disesuaikan dengan jumlah anggota keluarga si besan atau orang yang akan diberikan nasi jotan. Bisa satu nampan kecil, bahkan satu bakul besar.

Si penerima (pertama) nasi jotan tadi kemudian membagikan nasi jotan tersebut ke anggota keluarga besarnya (adik, kakak, sepupu, bahkan tetangga yang "dianggap" bagian dari keluarga)dengan mengatakan ini nasi jotan dari si A untuk acara tanggal sekian. Si penerima kedua sudah paham maksudnya, yaitu diajak kondangan (menghadiri undangan) pada hari dimaksud. Biasanya mereka akan berkumpul di rumah si penerima pertama nasi jotan untuk bersama-sama berangkat kondangan ke si pengundang. Nah ini yang lebih unik lagi, karena undangan ini berantai sesuai jumlah nasi jotan yang dibagikan (bahkan bisa lebih), yang berkumpul bisa banyak. Jika jaraknya cukup jauh untuk menuju ke rumah si pengundang, mereka naik angkot yang disewa, konvoi sepeda motor, naik mobil bak terbuka bahkan sewa mobil untuk anak-anak (kereta mini atau biasa disebut Odong-odong).

Sesaat menjelang tiba di tempat hajatan/pesta, biasanya pihak besan akan membakar petasan renceng. Petasan renceng adalah petasan yang dibuat secara apik dimana sumbu tiap petasan akan saling terkait membentuk seperti selendang, di bagian pangkal atasnya biasanya ada petasan yang lebih besar ukurannya, disebut petasan jeguran. Pihak shohibul hajat sudah paham bahwa pihak besan sudah tiba, dan bersiap-siap menerima kehadiran tetamu. Uniknya lagi, jika pestanya adalah pesta pernikahan maka mempelai pengantin wajib turun dari pelaminan berdiri berjajar dengan shohibul hajat untuk menyambut orang tua/mertuanya beserta rombongan tadi (besan). Ini sebagai bentuk penghormatan anak kepada orang tua/mertua. Lain halnya kalau yang datang adalah besan samping (bukan utama), tidak ada acara bakar petasan renceng dan penyambutan mempelai pengantin turun dari pelaminan.

Di beberapa wilayah demografis Betawi, sayangnya budaya nasi jotan sudah mulai ditinggalkan. Padahal ini merupakan salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat Betawi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan dan gotong royong. Semoga masih ada yang melestarikannya terutama generasi muda Betawi

Read More......

Wednesday, April 6, 2011

Rumah Betawi


“MASYARAKAT Betawi tergolong masyarakat rawa. Itu sebabnya mereka mengenal model rumah panggung,” kata Ridwan Saidi, tokoh Betawi yang sedang menyiapkan peluncuran buku riset sejarah garapannya: Babad Tanah Betawi.Namun, Ketua Tim Pengelola Perkampungan Budaya Betawi (PPBB) Agus Asenie Dipl Ing, praktisi arsitektur berpendapat, masyarakat Betawi sebenarnya tinggal di habitat yang beragam, sejak pesisir hingga pedalaman. Bahkan, sekarang juga tinggal di wilayah urban padat penduduk di tengah Kota Jakarta.


“Sehingga rumah panggung bukan satu-satunya sistem rumah tradisionilnya. Arsitektur rumah Betawi juga mengenal rumah darat. Jadi memang ada variasi pola arsitektur rumah sesuai dengan rentang sebaran komunitas Betawi dari pesisir yang mencari nafkah sebagai nelayan hingga pedalaman yang bercocok tanam padi sawah,” kata Agus, putra Betawi juga, asal Slipi.
Dua tahun terakhir Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI melalui Tim Pengelola Perkampungan Budaya Betawi yang dipimpin Agus Asenie melaksanakan proyek pemugaran sebuah rumah tradisional dan pembuatan rumah baru berarsitektur tradisional Betawi di kampung Setu Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Ini satu bagian kecil saja dari rencana proyek berjangka multi tahun di atas lahan 165 Ha, yang tidak saja bertujuan mengkonservasi arsitektur tradisional Betawi di kawasan itu, tapi juga berusaha membuat daerah tujuan wisata baru di selatan Jakarta. Lokasinya ideal karena adanya Danau Setu Babakan, berudara sejuk (24-26 derajad Celsius), berkontur (naik turun), dan sudah dihuni oleh komunitas Betawi yang masih lumayan mengukuhi adatnya.
Setiap Sabtu dan Minggu, di panggung berarsitektur Betawi yang dibikin oleh Tim PPBB sudah rutin berlangsung atraksi wisata seperti tari ondel-ondel juga upacara adat seperti perkawinan dan khitanan, yang sudah mulai dikunjungi turis manca negara. Tahun lalu jumlah pengunjung sudah mencapai 10.000 orang, dengan salah satu daya tarik utama sebuah situs rumah tradisional Betawi yang dipugar PPBB milik warga setempat bernama Pak Samin Jebul (60).
MENURUT hitungan kasar Ridwan Saidi, saat ini ada tak kurang dari 3.000 rumah berarsitektur tradisional Betawi di kawasan hunian komunitas Betawi, sejak kawasan Pulau Seribu di utara, hingga Cileungsi di selatan, sejak Balaraja (Tangerang) di barat sampai Cikarang (Bekasi) di timur.
Sebegitu jauh, baik Ridwan Saidi maupun Agus Asenie mengutarakan, belum ada sumber sekunder yang berasal dari kalangan akademik tentang arsitektur rumah Betawi. Tidak ada primbon atau pustaka klasik yang berisi kodifikasi arsitektur Betawi, sehingga Ridwan mengaku harus meraba sendiri ciri khas arsitektur rumah Betawi ini ketika meneliti, seraya dibandingkan dengan arsitektur rumah tradisional suku lain. Misalnya, bahwa masyarakat Betawi tidak mengenal fengshui, hukum arah angin sebagaimana masyarakat Tionghoa.
“Betawi pada awalnya adalah masyarakat river basin. Mereka membangun masyarakat berkelompok sepanjang sungai-sungai di kawasan ini. Ada belasan sungai besar di kawasan ini. Pintu depan rumah menghadap ke arah sungai. Akibatnya, setelah perlahan-lahan rumah Betawi masuk ke pedalaman, arah hadap rumah Betawi tidak teratur seperti rumah di Jawa yang berjajar menghadap jalan. Tetapi, sisa-sisa budaya DAS-nya masih tertinggal, biasanya dalam bentuk adanya sumur gali di depan rumah. Anda ingat Mandra atau Basuki di serial Si Doel kalau mandi di sumur di depan rumah mereka,” katanya.
Sekarang ini, terkena budaya kontemporer yang membataskan jumlah lahan yang kian menuntut pola arsitektur compact (ringkas), kata Agus, sumur depan rumah sudah kian hilang. Digantikan pompa-pompa listrik yang dipasang di belakang rumah.
Pada dasarnya ada tiga zoning di rumah tradisional Betawi, kata Ridwan Saidi. Kurang lebih mengikuti hukum arsitektur modern juga, kawasan publik (ruang tamu), kawasan privat (ruang tengah dan kamar) dan kawasan servis (dapur), tambah Agus. Dalam bahasa Betawi, kawasan publik yang berupa ruang tanpa dinding ini kawasan amben, disusul ruang tengah yang didalamnya ada kamar yakni wilayah pangkeng. Paling belakang adalah dapur atau srondoyan.
Masing-masing kawasan ini bisa merupakan bangunan sendiri, dengan pola atap sendiri. Bisa pula satu rumah utuh dengan sebuah saja pola atap, yang terbagi dalam tiga zona tadi. Variasi ini ditentukan status sosial ekonomi penghuninya. Jika setiap zona punya satu pola atap, masing-masing bisa berupa salah satu dari model atap pelana (segitiga sama sisi), atau limas dengan dua kali “terjunan” air hujan yang sudutnya berbeda. Atau lagi kombinasi dari kedua sistem atap ini.
Pilihan pola atap menurut Ridwan Saidi, tampaknya tidak terlalu menjadi tuntutan dalam arsitektur tradisional Betawi. Tidak seperti di Jawa yang sampai perlu ada selamatan khusus untuk itu. Bagi komunitas Betawi yang penting justru pembangunan pondasi rumah. Itu sebabnya, mereka mengenal selamatan “sedekah rata bumi". Hanya saja, sambung Ridwan, selamatan ini dilakukan sesaat setelah kuda-kuda atap rumah sudah sempurna berdiri.
RIDWAN mencatat ada sebuah sudut penting, bahkan sakral dalam arsitektur Betawi. Yakni, konstruksi tangga, yang diistilahkan balaksuji. Sayangnya ini agak sulit ditemukan di rumah Betawi bukan panggung. Balaksuji adalah konstruksi tangga di rumah panggung Betawi. Rumah darat kadang-kadang juga punya, jika lantaran “kultur rumah panggung", membuat pemilik rumah sengaja meninggikan lantai rumahnya dari permukaan tanah sekitar. Pada kasus demikian pemilik rumah juga membuat balaksuji, tangga menuju rumah.
Tak ada konfirmasi literer soal ini. Hanya saja Ridwan menjelaskan, inilah (boleh jadi) arti harafiah dari istilah “rumah tangga” yang dikenal selama ini.
“Sebuah keluarga yang utuh tinggal di rumah yang ada tangganya. Makanya, bernama rumah tangga. Tangga balaksuji ini bagian rumah yang sarat nilai filosofi. Bisa disamakan dengan tangga spiritual dalam tradisi Betawi. Mungkin bisa diidentikkan dengan prinsip tangga dalam arsitektur kebudayaan lain, seperti Borobudur, atau suku kuno Inca. Bahwa memasuki rumah lewat tangga adalah proses menuju kesucian. Idealnya jika ada sumur di depan rumah, siapa pun yang hendak masuk rumah harus membasuh kakinya dulu, baru naik tangga, sehingga masuk rumah dalam keadaan bersih. Ini memang bukan soal fungsi, tapi perlambang,” katanya.
Di rumah modern yang dihuni masyarakat Betawi sekarang, banyak hal sudah hilang, termasuk tangga balaksuji ini. Hanya saja, kata Ridwan, di sejumlah kampung balaksuji dipertahankan, atau pindah lokasi. Tangga ini tidak ada di rumah penduduk, tapi ada di masjid kampung. Balaksuji dipasang di tempat khotib berkhotbah. Tangga ini menjadi tangga menuju mimbar. Kesuciannya dipertahankan di rumah ibadah. (ody)
Sumber: Harian Kompas, Minggu, 21 April 2002

Read More......

Wednesday, June 9, 2010

Dialek Bahasa Betawi

Menyambung apa yang telah disampaikan oleh admin Akun Ayo Existkan Bahasa Betawi di jejaring sosial Facebook, berikut ini saya mencoba memotret khazanah Bahasa Betawi dalam hal dialek. Seperti bahasa daerah lainnya, bahasa Betawi juga memiliki dialek yang berbeda meliputi beberapa wilayah di Jakarta dan sekitarnya (Bodetabek).


Menurut garis besarnya juga dapat dibagi dua sub dialek yaitu sub dialek Betawi Tengah atau Kota dan sub dialek Betawi pinggiran atau Betawi ora.

Pada sub dialek Betawi tengah menurut garis besarnya, terdapat vokal akhir /E/ pada beberapa kata yang dalam bahasa Indonesia berupa /a/ atau /ah/. Dipinggiran tidak terdapat perubahan vokal /a/ menjadi /E/.

Secara umum orang awam sering mendengar sub-dialek yang berakhiran /a/ atau /ah/ dan /E/. Perbedaan dialek ini dapat dengan mudah kita temui ketika kita menyaksikan sinetron Si Doel Anak Sekolahan garapan Rano Karno. Tetapi di wilayah Kebon Jeruk dan sekitarnya, ada yang menggunakan akhiran e (elang). Jadi kita akan mendengar kata Nangke (untuk buah Nangka), Jute (untuk kata Juta), dan lain sebagainya.

Perbedaan sub-dialek ini tentunya semakin memperkaya khazanah budaya betawi khususnya dari segi bahasa yang patut kita lestarikan, tidak hanya untuk yang merasa orang betawi tetapi juga sebagai warga Jakarta pada umumnya sebagai bagian dari bahasa daerah di Indonesia.

Ref:
http://www.harisahmad.com/wilayah-kebudayaan-betawi-4/
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Betawi

Read More......

Wednesday, April 15, 2009

Tari Zapin

Untuk yang menanyakan tari Zapin, berikut ini ada beberapa link yang dapat diakses untuk mengetahui lebih jauh mengenai tari Zapin. Saya dulu sempat punya file softcopy untuk tari Zapin yang bernuansa Betawi, tetapi begitu dicari tidak ketemu. Mudah-mudahan yang ini bisa mengobati keingintahuan Anda.


1. Zapin Melayu silakan lihat di sini
2. Artikel-artikel Tari Zapin, silakan lihat di sini
3. Tari Zapin dari Antara silakan cek di sini
4. Tari Zapin Melayu Malaysia silakan cek lagi di sini

Read More......

Friday, November 21, 2008

Asal Usul Tari Zapin

Berbagai tradisi Betawi mendapat pengaruh yang cukup kuat dari daerah-daerah Jawa Barat. Hal ini mudah diiahami sebab wilayah budaya Betawi secara geografis termasuk ke dalam daerah Jawa Barat. Di samping kebudayaan Betawi juga banyak mendapat pengaruh kebudayaan Melayu yang sangat jelas pada lagu dan irama yang mengiringi tari-tarian tertentu, seperti Samrah, Tari zafin yang kini berkembang di Jakarta sangat mungkin merupakan pengaruh kebudayaan Melayu. Terutama setelah pengaruh Islam masuk ke Indonesia.


Diperoleh keterangan bahwa perkataan Tari dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab "Tar ", asalnya nama sebuah alat musik Timur Tengah. Buku tentang tarian Islam yang pertama, adalah "Kitab al-raqsh wa’l-zafn". Kitab tarian dan gerak kaki. Pengaruh kitab ini masih dapat kita lihat dalam kesenian tari Indonesia di Riau. Tari Zafin (al-zafn), sekarang masih hiudp subur di Riau. Berkembang di mana-mana semenjak dari istana sampai ke kedai-kedai kopi. Serampang Dua Belas adalah "dansa" populer peninggalan kerajaan Islam Riau. Syair dalam musiknya (Oemar Amin Hoesin, hal. 466-467).

Menurut keterangan Abdurrahman Al Habsyi, tari zafin telah ada sejak lebih dari seabad yang lalu. Dibudayakan di kalangan ulama keturunan Arab. Menurutnya terdapat dua jenis tari zafin. Pertama Tari Zafin Umum; kedua tari Zafin Betawi. Bahwa Tari Zafin Umum, adalah tari zafin yang berkembang kalangan ulama (keturunan) Arab, sedangkan Tari Zafin Betawi adalah tari Zafin yang berkembang di masyarakat Betawi yang bukan kalangan ulama.

Pengelompokkan tari zafin seperti yang disampaikan oleh Abdurrahman AlHabsyi tersebut di atas, dimaksudkan untuk mempertegas perbedaan penampilannya. Tari Zafin Umum penampilannya lebih Arabis, artinya tidak saja karena lagu-lagunya yang berbahasa Arab, akan tetapi gerakan tarinya juga kelihatan lebih murni. Berbeda dengan Tari Zafin Betawi yang berkembang dewasa ini. Selain lagu-lagunya yang sudah tidak lagi mengusahakan lagu-lagu Arab juga gerakan-gerakan tarinya sudah mendapat banyak pengaruh tari tarian Melayu. Gerakan tangan hampir sama "lebatnya" dengan gerakan kaki. Pada Tari Zafin umumnya hal ini tak tampak. Fungsinya juga sudah beralih, tari Zafin Betawi lebih menunjukan sebagai tari pertunjukan dibanding sebagai tari pergaulan. Tari Zafin Betawi juga sering memperlihatkan pola tari berpasangan, pria dan wanita, walaupun penari prianya merupakan ”travesti".

Selanjutnya dikatakan oleh Abdurrahman AlHabsyi, bahwa Tari Zafin Betawi lahir sebagai peniruan atas Tari Zafin yang biasa ditarikan oleh kalangan Ulama Arab (keturunan). Oleh sebab itu pula sebagaian masyarakat Betawi menyebutnya dengan istilah "Tari Arab Dingkring".

Menurut perkiraan yang masih memerlukan penelitian tari zafin mungkin berasal dari tarian kelompok ahli sufi, seperti Jalaludin Rumi, sebagai pelengkap upacara ritualnya. Tariannya dianggap sebagai olah gerak yang membebaskan jiwa dari ikatan duniawi. Dengan menarik nafas dalam-dalam jemaahnya berulang-ulang menggumamkan: Allah Allah - Allah. Lalu tar (genderang) pun dipukul, mula-mula pelahan, berangsur makin nyaring. Seorang darwisy bertopi kerucut clan berjubah mulai menari, berputar-putar ke kiri dengan kedua belah tangannya terentang lebar-lebar, telapak tangan kanan menghadap ke atas. Seclang telapak tangan kirinya menghadap ke bawah. Seluruh majlis mengumandangkan syahadat. Pertama-tama pelahan, makin lama makin cepat, nyaring dan merdu. Kemudian masuk pula jemaah lainnya, mengitari sang sufi yang sedang menari berputar-putar, dalam arah yang berlawanan.

Perkiraan bahwa tari zafin berasal, dari kebiasaan kelompok ahli sufi demikian itu, berdasarkan keterangan Abdurahman Alhabsyi yang antara lain menyatakan, bahwa sudlah jadi kebiasaan beberapa ulama kalau berkumpul pada waktu-waktu tertentu di majlis taklim Sayid Ali Alhabsyi di Kwitang, menari zafin bersama diiringi orkes gambus.


Sumber seni : TARI ZAFIN, Dinas Kebudayaan DKI Jakarta



Read More......