Tuesday, July 8, 2008

Customer Satisfaction

Customer satisfaction is an ambiguous and abstract concept and the actual manifestation of the state of satisfaction will vary from person to person and product/service to product/service. The state of satisfaction depends on a number of both psychological and physical variables which correlate with satisfaction behaviors such as return and recommend rate. The level of satisfaction can also vary depending on other options the customer may have and other products against which the customer can compare the organization's products.


Because satisfaction is basically a psychological state, care should be taken in the effort of quantitative measurement, although a large quantity of research in this area has recently been developed. Work done by Berry, Brodeur between 1990 and 1998 defined ten 'Quality Values' which influence satisfaction behavior, further expanded by Berry in 2002 and known as the ten domains of satisfaction. These ten domains of satisfaction include: Quality, Value, Timeliness, Efficiency, Ease of Access, Environment, Inter-departmental Teamwork, Front line Service Behaviors, Commitment to the Customer and Innovation. These factors are emphasized for continuous improvement and organizational change measurement and are most often utilized to develop the architecture for satisfaction measurement as an integrated model. Work done by Parasuraman, Zeithaml and Berry between 1985 and 1988 provides the basis for the measurement of customer satisfaction with a service by using the gap between the customer's expectation of performance and their perceived experience of performance. This provides the measurer with a satisfaction "gap" which is objective and quantitative in nature. Work done by Cronin and Taylor propose the "confirmation/disconfirmation" theory of combining the "gap" described by Parasuraman, Zeithaml and Berry as two different measures (perception and expectation of performance) into a single measurement of performance according to expectation. According to Garbrand, customer satisfaction equals perception of performance divided by expectation of performance.

The usual measures of customer satisfaction involve a survey with a set of statements using a Likert Technique or scale. The customer is asked to evaluate each statement and in term of their perception and expectation of performance of the organization being measured.(wikipedia)

Berikut ini ada kisah mengenai Customer Satisfaction:

SEORANG pengusaha menelepon. Beliau ingin saya mendesain sebuah program pelatihan dan pendidikan. Uniknya, bukan untuk para pegawai dan staf, melainkan justru untuk pelanggan mereka. Terus terang ini peristiwa langka. Jarang sekali saya mendapatkan tantangan ini. Pengusaha itu bercerita bahwa ia mendapatkan ide ini dari ibunya.

Menurut cerita, sang pengusaha ini suatu hari makan di rumah ibunya. Ketika bersantap, ia memperhatikan bahwa nasi yang disajikan gurih dan pulen. Nikmat sekali. Ini berbeda dengan yang di rumah. Nasi yang dia makan sehari-hari seringkali tidak konsisten. Kadang kurang air dan menjadi keras. Kadang terlampau banyak air dan lembek. Padahal, dia memakai rice cooker yang sama dengan ibunya.

Karena penasaran, ia minta sang ibu melatih pembantu di rumah. Maksudnya, agar dia bisa menikmati nasi gurih dan pulen yang persis dirasakan di rumah ibu. Jadilah ibunya trainer tidak resmi untuk memasak nasi. Pulang dari pelatihan, si pembantu bercerita bahwa memasak nasi ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Untuk menghasilkan nasi yang gurih dan pulen, diperlukan proses sangat rinci. Mulai dari pemilihan jenis beras, cara mencuci, merendam, hingga memasaknya dengan jumlah air yang pas.

Sang pengusaha lalu berteori bahwa kebanyakan produk didesain sangat berlebihan. Misalnya saja, telepon genggam. Barangkali kita hanya menggunakan seperempat dari kemampuan yang ada. Sama dengan komputer. Kebanyakan hanya dipakai untuk mengetik. Kemampuan-kemampuan yang lain jarang digunakan, atau kita tidak paham sama sekali untuk menggunakannya.

Kalau saja konsumen dididik dan dilatih untuk lebih andal dan berpengalaman menggunakan produk, maka tingkat kepuasannya akan naik drastis. Bayangkan konsumen tetap membayar harga yang sama untuk produk yang sama, tapi tingkat kepuasan naik berlipat ganda. Buktinya, sang pengusaha dengan cerita di atas mengaku bahwa kini ia merasa nikmat sekali makan di rumah, karena nasinya pulen dan gurih. Sejak pembantunya lebih pandai menanak nasi, ia jadi lebih sering makan di rumah. Apresiasinya terhadap rice cooker yang digunakan meningkat pesat.

Saya ingat, ketika masih SMA, saya dihadiahi kamera pertama oleh Paman. Saat itu, tidak ada orang yang bisa melatih dan mengajari untuk menggunakannya dengan sempurna. Dari pegawai di toko kamera, saya cuma diajari seadanya. Selama hampir setahun, saya belajar dengan cara trial and error. Mahal biayanya. Karena lebih banyak salah ketimbang yang benar.

Lalu seorang teman menghadiahi saya sebuah buku yang dibeli di Singapura, tentang kamera itu. Lama-kelamaan saya jadi sangat mahir. Tingkat kepuasan saya benar-benar meningkat drastis. Kamera itu menjadi kamera kesayangan saya selama beberapa tahun. Ketika kuliah, saya membeli kamera kedua yang lebih maju dan mahal. Saya pun membeli kamera dengan merek yang sama. Saya menjadi loyal terhadap merek itu, semata-mata karena saya sangat puas dengan merek itu.

Sebagian besar produk konsumen yang beredar di pasar, percaya atau tidak, memang didesain terlampau berlebihan, dengan aneka fitur yang terkadang sangat kompleks dan memerlukan pendidikan dan pelatihan khusus. Saya hampir tak pernah menggunakan telepon genggam saya untuk memotret. Biarpun telepon genggam saya dilengkapi dengan kamera yang konon sangat baik. Itu sebabnya, sebagian konsumen, percaya atau tidak, lebih menginginkan produk lebih sederhana. Tidak usah diatur-atur. Kolega saya berkelakar bahwa kalau membeli kamera, ia ingin kamera "bodoh". Pokoknya, asal jepret sudah jadi.

Ibu saya punya cerita yang lain. Pernah sekali Ibu saya berlangganan roti tawar. Mulanya, roti tawar selalu habis terkonsumsi paling lambat dua hari. Tapi lama-lama kami bosan. Roti tawar lewat tiga-empat hari, lalu berjamur dan terpaksa dibuang. Akhirnya ibu saya berhenti berlangganan roti tawar. Alkisah, suatu hari di sebuah bakery, ibu saya sempat bertemu dengan sang pemilik. Mereka bertukar kisah. Ibu saya menceritakan masalahnya.

Oleh pemilik bakery, ibu saya diajari cara menyimpan roti tawar di lemari es. Mulanya ibu saya ragu, karena roti yang disimpan di lemari es cenderung akan keras. Lalu pemilik bakery mendemokan bagaimana menghangatkan roti dari lemari es dengan microwave oven. Hasilnya memang ajaib, roti kembali hangat dan terasa empuk seperti semula. Ibu saya lalu kembali berlangganan roti. Ia juga tahu bagaimana caranya punya roti hangat setiap saat di rumah. Triknya sederhana, tapi kepuasan ibu saya meningkat tajam.

Pendidikan dan pelatihan konsumen untuk menggunakan produk kita dengan baik dan benar kini menjadi fokus penting, agar kepuasan pelanggan meningkat. Kepuasan pelanggan meningkat, otomatis reputasi dan kredibilitas produk terangkat. Pada akhirnya, konsumen memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk loyal terhadap produk dan merek kita. Trik ini jitu dan sederhana.

No comments: